Senin, 23 Juni 2008

Cinta Orang tua? Baca ini : Penghargaan untuk Ayah

Namaku Sandi, siswa SMA di salah satu sekolah ternama di Jakarta. Di tahun terakhir bangku SMA, aku terpilih sebagai siswa teladan dengan peringkat terbaik di sekolah. Saat ini aku sedang berdiri di hadapan ribuan pasang mata yang menungguku untuk menyampaikan beberapa patah kata. Lalu, aku pun berusaha menceritakan sedikit masa lalu aku.

Aku termasuk anak yang bandel dan bermasalah di sekolah. Biasanya, setelah pulang sekolah aku selalu mampir dulu ke rumah Bimo, teman baikku, karena arah pulang ke rumahku harus melewati rumah Bimo. Dia sangat baik dan pintar. Kami mempunyai kesamaan hobi, bermain playstation. Kadang-kadang aku mengajak Bimo ke rumahku untuk bermain playstation.
Aku adalah anak tunggal dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan. Ayahku membuka swalayan serba ada di depan rumah, sehingga aku bisa bertemu ayah setiap waktu, lain dengan ayah Bimo, ayahnya adalah seorang kuli bangunan, pagi-pagi sekali sudah harus berangkat kerja, dan malamnya baru pulang ke rumah.

Siang hari ini, Aku mengajak Bimo ke rumahku. Seperti biasanya, setelah sampai di rumah aku masuk dan langsung berlari ke atas tanpa menghiraukan ayah menuju kamarku yang berada di lantai dua. “Di, kamu dah pulang ya?”, ibuku memanggil dari dapur sambil memasak. Ibuku jago memasak, aku sangat menyukai masakannya. Aku pura-pura tidak mendengar panggilan ibuku, kemudian aku menghidupkan playstation dan bermain bersama Bimo. “Dipanggil ibu loe tuh,” kata Bimo. “Biarin aja. Yuk kita main,” jawabku ketus.
“Sandi, ayo turun. Makan siang sudah siap!” terdengar suara melengking ibuku dari bawah, yang menghilangkan konsentrasiku bermain sehingga aku kalah dari Bimo. “Yes, aku menang! Aku menang!” teriak Bimo. “Beruntung aja loe. Ayo, kita makan dulu,” kataku sambil mengerutkan alis mata menunjukkan bahwa aku tidak senang, kemudian kami turun dan masuk ke ruang makan. Aku langsung saja duduk dan makan. Bimo juga mengikuti gerakanku. Lalu, kulihat ibu masuk bersama ayah. “Di, kakinya diturunkan, jangan begitu, nanti jadi kebiasaan, Di,” ayahku menasehatiku dengan suara yang lembut dan bijaksana, tapi aku tak menghiraukannya. “Ah, suka-suka akulah!” jawabku lantang. Kemudian ibuku juga ikut menasehati, “Sandi, kok begitu sih. Anak yang baik harus mendengarkan kata-kata orang tua.” Aku makin kesal setelah ibu juga ikut-ikutan. Aku memang susah dinasehati, jika ada yang menyuruhku melakukan ini, aku pasti melakukan yang lain. Sedangkan ayahku selalu melarangku melakukan inilah, itulah. Katanya nanti jadi kebiasaan buruk. “Ah! Nafsu makanku uda hilang! Aku ke atas aja! Yuk Bim, kita lanjut main!” bentakku sambil memukul meja. Ayahku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu aku pun ke atas dengan Bimo yang kebingunan dan heran melihat tingkahku. “Di, gue rasa sikap loe keterlaluan deh, mereka kan bokap, nyokap loe,” Bimo juga mulai menasehatiku. “ Ah, biarin aja. Kok loe jadi ikut-ikutan sih! Loe gak suka? Gak mao temenan lagi sama gue? Ya sudah, pulang saja sana kalo memang gitu!” bentakku. “Bukan gitu, Di.” “Akh! Sudahlah, pulang saja sana. Aku jadi malas main lagi.” Lalu pulanglah Bimo dengan wajah yang sedih. Aku lanjut bermain sendirian. Bimo memang baik, walaupun aku sering emosi, tapi dia tetap mau jadi temanku. Kadang aku merasa bersalah juga, tapi hari ini emosiku sudah mencapai puncaknya.

Pagi ini, hari sabtu yang cerah. Dengan semangat, aku pun bangun dan siap-siap mandi, berganti pakaian. Aku suka berangkat ke sekolah lebih cepat agar aku bisa menyiapkan sesuatu untuk mengganggu anak yang lain. Lalu terdengarlah suara yang setiap hari sayup-sayup memasuki kamarku. “Di! Ayo, sarapan!” Aku pun segera turun, menerobos lorong menuju ruang makan secepat kilat. Lalu kurampas roti lapis buatan ibuku yang ditaruh di meja. Kemudian, aku langsung berlari keluar sambil menggigit roti yang berisi telur dan daging ayam yang sudah dicincang. “Di, nih uang jajanmu. Ambil dulu, nanti buat makan di sekolah kalau kamu lapar,” kata ayahku, buru-buru menyuruhku kembali. Aku pun balik dan mengambil uang tersebut. Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa aku berangkat ke sekolah. Lagi-lagi ayahku hanya menggelengkan kepala. Ayahku sungguh terlalu baik, dia tidak pernah memarahiku. Mungkin itu akibatnya aku jadi manja dan bandel.
Hari-hari di sekolah berlangsung seperti biasa. Membosankan. Setiap 5 menit, aku pasti mengecek jam dinding yang ada di atas papan tulis kelas. Berpikir kapan lonceng akan berbunyi.

KRING!KRING!KRING!

Akhirnya lonceng berbunyi. Aku berjalan ke tempat duduk Bimo. “Bim, gue ke tempat loe dulu ya? Kita main PS dulu. Gimana?” “Enggak ah, gue g bisa, Di. Gue sudah ada janji,” jawab Bimo dengan gugup dan segera menyimpan barang-barang bawaannya lalu pergi. Aku merasa Bimo masih kesal sama perlakuanku kemarin. Sepertinya aku sudah keterlaluan “Oh, ya sudah deh.” Temanku satu-satunya sudah mulai menjauhiku, pikirku. Karena aku sering menggangu teman-teman yang lain, aku jadi hanya punya sedikit teman. Ah gak papa, emangnya gue enggak bisa hidup tanpa dia.

Aku pun pulang sendirian. Menyebalkan, beberapa hari ini kok gue sial banget.
Setelah aku melewati belokan terakhir menuju rumahku, dari kejauhan aku melihat ada keramaian. Ada apa ya? Pikirku penasaran. Semakin aku berjalan, semakin aku merasa bahwa keramaian itu berada persis di depan rumahku. Lalu aku berlari sekuat tenaga menghampiri salah satu orang yang sedang melihat-lihat ke dalam rumahku dan bertanya, “Ada apa ya, Mas?” “Oh, tadi ada perampokan di sini.” Jawab orang itu. “APA!” aku menjerit. Rumahku dirampok. Kakiku jadi lemas, mulutku ternganga bengong, tidak tau harus berbuat apa. Aku pun segera menerobos masuk keramaian tadi dengan paksa. Akhirnya aku berhasil masuk. Ketika aku menuju ruang tamu, aku melihat polisi sedang memeriksa keadaan di sana. Polisi itu menoleh, “Kamu siapa?” “Saya Sandi, saya tinggal di sini.” Kemudian polisi itu mulai menceritakan apa yang terjadi kepadaku. Aku melihat ke lorong yang mengarah ke dapur. Darah. Ada darah di dinding dan lantai. Banyak sekali. Seperti cat berwarna merah tua. Jantungku pun berdegup kencang sekali. Mukaku mulai pucat, mataku berkaca-kaca. Tidak, itu bukan darah orangtuaku, itu hanya cat yang tumpah. Pikirku dalam hati. “Ayah kamu sekarang sedang berada di rumah sakit. Lukanya cukup parah. Kepalanya terdapat bekas pukulan dengan palu, di dada dan perut terdapat luka tikam.” Aku langsung jatuh lemas, lututku membentur lantai keramik berwarna kecoklatan. Pikiranku melayang. Jantungku terus berdetak kencang. Ini tidak benar, ini tidak benar, kamu bohong. Kataku dalam hati. ”Untunglah pelakunya sudah tertangkap, dan tidak ada barang yang hilang.”
UNTUNG! Untung katamu, ayahku sekarang sedang sekarat, kamu masih bisa bilang untung!
Aku segera diantar ke Rumah sakit dengan mobil polisi. Bapak tidak apa-apa! Bapak tidak apa-apa! Aku mengulang kata-kata tadi terus menerus dengan berlinang air mata. Setibanya disana aku berlari menuju ruang UGD, aku melihat ibuku sedang duduk di kursi menangis tersedu-sedu di samping pintu UGD. Aku menghampiri ibuku. Lalu Ibuku memelukku, dan kami menangis bersama. Setelah beberapa jam, seseorang berseragam hijau muncul dari balik pintu UGD. Wajahnya sangar dengan janggut dan rambut hitam yang ikal dan kusut seperti tidak terurus selama beberapa bulan. “Keadaan suami Anda sangat parah. Kami sudah berusaha yang terbaik. Sekarang kita tinggal menunggu keputusan Yang Maha Kuasa,” ujar orang itu dengan wajah yang tak berekspresi, kemudian orang itu pergi. Seorang suster yang tadi bersamanya memberi tahu bahwa ayah sudah boleh dijenguk dan mengarahkan kami ke ruang ICU. Begitu aku masuk, hatiku sakit sekali, pikiranku kacau. Ayahku yang sangat baik hati dan bijaksana sekarang sedang sekarat tidak berdaya di atas ranjang. Kemudian ibuku dan aku berjalan dengan pelan, ke samping ranjang ayahku. Terlihat ayahku tidur dengan wajah yang pucat, banyak suntikan dan kabel disekujur tubuhnya. Ibuku tidak sanggup melihatnya, dan segera keluar lagi. Samar-samar terdengar suara tangisan ibu di luar. Aku juga menangis. Kenapa harus ayahku? Dia orang baik.Kenapa bukan aku saja? Jeritku dalam hati.
Beberapa jam kemudian, jari-jari ayahku mulai bergerak. Aku merasakannya dalam genggamanku. Kemudian kelopak matanya juga sudah bergerak. Aku langsung pergi memanggil ibu. “Bu, ayah sudah siuman!” hatiku rasanya bahagia sekali. Lega rasanya melihat ayahku sudah siuman.
“Di….” Panggil ayahku dengan suara yang serak dan sengau, tapi tetap terdengar lembut. Air mataku mengalir lagi pipiku. “Ya, pak.” “ka, ka.. mu, harus jaga ibumu ya?” tanya ayahku terpatah-patah dan terisak. “iya, pak, Sandi akan menjaga ibu. Bapak jangan tinggalin kita ya.” Jawabku sambil mengisak hingus yang keluar. “Bagus, kamu memang anak yang baik.” Itulah kata-kata terakhir yang keluar dari mulut ayahku. Kemudian aku mendengar suara TIIIIIITTTT. “BAPAK! BAPAK!” pekikku , aku menggoyangkan bahunya yang kekar. “BAPAK! Huhuhu! BAPAK! Bangun PAK”. Ibu pingsan. Lalu aku segera memanggil dokter.

Waktu pun dengan cepat berlalu. Setahun kemudian, tepat di hari peninggalan ayahku. Ibu dan aku berziarah ke makam ayah. “Bapak, ini saya, Sandi.” Aku melihat ke arah ibu sebentar, lalu air mataku pun berlinang. “Sandi sudah menjaga ibu. Sandi sudah menjadi anak yang baik sekarang. Sandi tidak lagi mengangkat kaki sewaktu makan, selalu memberi salam kepada orang yang lebih tua.” “Pak, Sandi mohon pak, kembalilah Pak. Sandi sudah menjadi anak yang baik Pak. Sandi tidak akan mengulanginya lagi. Pulanglah Pak.” Melihatku begitu rapuh, ibuku pun memelukku. “Sandi rindu bapak. Sandi rindu.”
Sejak ayahku pergi ke samping-Nya. aku sudah tidak lagi mengganggu anak-anak sekolah yang lain. Bimo menjadi teman baikku lagi. Aku juga menjadi lebih pendiam. Nilai pelajaranku perlahan-lahan meningkat dan mulai disukai banyak teman. Bahkan, di akhir kelas 3 SMA aku mendapat 2 penghargaan sekaligus yaitu nilai terbaik dan murid teladan.
“Penghargaan ini aku persembahkan untuk Ayahku!” itulah kalimat terakhir yang kuucapkan kepada ratusan siswa dengan orang tua masing- masing di depan aula sekolah saat itu.


Steven

Tidak ada komentar: